WHAT'S NEW?
Loading...

Jangan Kaget! Kebenaran Riwayat Alas Lali Jiwo di Gunung Arjuno



Kebenaran Riwayat Hutan Lali Jiwo di Gunung Arjuno Yang Jauh Dari Kata Mistis - Buat yang pernah mendaki gunung Arjuno tentu tidak asing dengan narasi mistis tentang rimba yang namanya Lali Jiwo ini. 'Lali Jiwo' dengan harfiah dalam bahasa Indonesia bermakna 'lupa diri' atau 'lupa jiwa'.

Seringkali kita dengar narasi jika kita melanggar pantangan-pantangan khusus karena itu kita akan tersesat di Rimba Lali Jiwo. Ini tidak terlepas dari jumlahnya berita pendaki yang tersesat saat masuk lokasi rimba Lali Jiwo. Mereka seolah lupa masalah arah ke mana mereka akan pergi serta darimanakah mereka hadir hingga pada akhirnya dihubungkan dengan asal mula nama Lali Jiwo tersebut.

Rimba Lali Jiwo menguasai ditumbuhi pohon pohon pinus dengan jarak antar vegetasi yang lumayan lebar. Jarak antar pohon yang tidak rapat ini membuat jalan pendakian gampang lepas dari pandangan sebab tersamarkan dengan jalan liar (jalan air, jalan hewan, dll), hingga untuk pendaki yang kurang konsentrasi akan gampang tersesat.


Jumlahnya narasi masalah pendaki tersesat itu menyebabkan timbulnya satu mitos jika rimba itu diberi nama 'Lali Jiwo' sebab dapat membuat orang hilang kesadaran serta seolah di hipnotis oleh makhluk halus hingga lupakan jiwanya sendiri. Apakah benar demikian?

Sayangnya, riwayat mengatakan lain. Menurut situs riwayat Belanda javapost.nl, 'Lali Djiwo' bukan dinamakan oleh orang Jawa, tetapi oleh seorang Skotlandia yang namanya Duncan de Clonie MacLennan. Lalidjiwo awalannya adalah nama satu pondok persinggahan. Letak pondokannya ada ditengah-tengah rimba, jauh terisolasi dari peradaban.

Ia ingin memberikan nama pondokannya itu dengan nama yang puitis, 'Vergeet uw Ziel' dalam bahasa belanda, atau 'Forgotten Soul' dalam bahasa inggris. Tetapi MacLennan ingin memakai bahasa lokal hingga diterjemahkannya jadi 'Lali Djiwa', atau jiwa yang terlewatkan (bukan disimpulkan jadi 'lupa diri'), sebab tempat pondokannya yang benar-benar terisolir serta seolah terlewatkan.
Riwayat Sebetulnya Nama Rimba 'Lali Jiwo'

MacLennan adalah seorang pekerja di perusahaan dagang Fraser Eaton di Surabaya. Dia beli tanah yang lumayan luas di lereng Gunung Arjuno, serta membuat jadi satu perkebunan yang menanam beberapa komoditas.

Awalannya, MacLennan cuma berkunjung ke perkebunannya itu pada saat berlibur saja, khususnya waktu cuaca di Surabaya sedang panas-panasnya. Sesudah keluar dari perusahaannya, dia selanjutnya tinggal di tanah perkebunannya di Tretes bersama dengan Anna Kovacic - istrinya yang seorang penari asal Austria.

Tidak hanya jadi pedagang serta tuan tanah, MacLennan adalah pemburu handal. Tiap minggu dia masuk ke rimba, cari binatang buruan, serta bawa hasil buruan ke tempat tinggalnya di Tretes.

Simak juga: Riwayat Pulau Belakang Padang, Dari Membajak Laut Malaka Sampai Jadi Penawar Kangen

Karena jarak tempat memburu ke Tretes cukup jauh, ditambah medan yang cukup susah, MacLennan pada akhirnya putuskan membuat pondok persinggahan di lereng Gunung Arjuno di ketinggian 2500 mtr., jauh dari Tretes, serta pondokan itu dinamakan Lali Djiwa, seperti yang telah diterangkan di atas.

MacLennan selanjutnya membuat jalan pendakian dari Tretes ke pondok Lali Djiwa itu serta mempromokan wisata memburu ke masyarakat kulit putih yang ada di Surabaya. Cuma dalam beberapa waktu, Lali Djiwa jadi tujuan terkenal di golongan warga kulit putih Jawa Timur.
Tahun 1903, Koninklijke Paketvaart Maatschappij - satu perusahaan agen perjalanan Belanda - menulis; "Kami menunggang kuda ke Lali Djiwa, seputar empat jam jalan kaki dari Tretes.

Dari sana kami berjalan kaki mendaki ke kawah Gunung Arjuno. Perjalanan kembali tidak perlu waktu lama, hingga kami dapat sampai hotel di Prigen sebelum gelap. Bila banyaknya waktu, datanglah serta bermalam di Lali Djiwa sebelum sore serta nikmati indahnya matahari tenggelam. pada pagi hari jam tiga pagi, naiklah ke pucuk gunung diterangi sinar bulan serta obor untuk nikmati indahnya matahari keluar."

Lali Jiwo Jadi Tempat Wisata Bule Belanda

Awalnya, Prigen serta Tretes cukup susah untuk diraih, tetapi ini beralih pada awal era ke 20. Terdapatnya pembangunan jalan baru serta ramainya pemilikan mobil pribadi membuat jarak dari Surabaya ke Prigen serta Tretes makin dekat serta gampang di akses.

De Indische Courant, koran berbahasa Belanda terbitan 1928, menulis; "Banyak pekerja Belanda yang pensiun serta ingin habiskan waktu santai, dan makin banyak juga janda-janda dengan harta tinggalan suami mereka membuat Tretes makin ramai dengan villa-villa baru. Makin lama rimba belantara itu menjadi desa kecil yang penuh dengan pondokan, hotel, penginapan untuk orang kulit putih liburan."

Villa-villa itu disewakan ke beberapa orang kaya, atau dipakai sendiri tiap minggu. Pengunjung yang tidak kebagian villa akan memadati pondokan serta peginapan. Masyarakat lokal banyak sebagai pekerja di villa serta penginapan, menyewakan kuda kuda mereka, atau jadi pemandu beberapa anak kulit putih berkuda.
Koran-koran Belanda banyak menulis mengenai Tretes serta Prigen jadi verrukkelijke, atau resor pegunungan, serta mengatakan pada pemerintah Belanda untuk membuat akses jalan yang lebih baik.

Lali Djiwa semakin terkenal jadi resort terfavorit, tapi sayangnya MacLennan tidak sempat melihatnya. McLennan tinggalkan Istri serta pakar warisnya yang terus tinggal di Lali Djiwa sampai wafat pada tahun 1929.

Ketenaran Lali Djiwa serta MacLennan sampai ke wartawan Austria pada beberapa tahun semenjak kematian istrinya, Kovacic. Salah satunya tulisan pada media Austria menyarankan pentingnya pencarian pakar waris MacLennan-Kovacic. Pencarian itu memerlukan waktu lama, serta menyertakan beberapa orang, tetapi sayang tidak membawa hasil.

Wartawan Belanda menulis, jika pakar waris MacLennan-Kovacic peluang sudah jual Lali Djiwa ke pemerintah Belanda, sesudah sekian tahun tinggal di pondok itu.

Masuk tahun 1940an, tersebar berita jika akan dibuat satu jalan mobil ke arah pondokan Lali Djiwa. Kondisi ini mencemaskan beberapa masyarakat Hindia-Belanda.

Seorang pembaca De Indische Courant menulis; "Saya percaya siapa juga sepakat dengan saya jika Lali Djiwa tidak bisa disebutkan Lali Djiwa saat mobil bisa dengan gampang sampai tempat ini. Lereng gunung tidak sepi, tetapi berisik oleh klakson mobil. Lali Djiwa bukan tempat yang membuat orang lupa diri, bukan jadi jiwa yang terlupa. Salah satu resor gunung yang terisolasi akan hilang, serta jadi lokasi wisata yang biasa saja"

Gagasan pembangunan jalan itu di urungkan oleh Pemerintah Belanda sebab kondisi perang kemerdekaan. Lali Djiwa jadi resor yang tawarkan keindahan alam betul-betul tidak ada beritanya sesudah Belanda keluar dari Indonesia. Tahun 1960, Hein Buitenweg menulis di Moonsoon; "Saya bertanya-tanya apa pondok dengan nama puitis, dikelilingi pohon cemara, serta pohon mawar di halamannya, masih ada."

Perlahan, bersamaan berlalunya waktu, rimba di sekitar pondokan itu diketahui dengan nama Rimba Lali Jiwo. Dari yang dahulunya populer jadi satu resort terpencil dengan keindahan wisata alamnya, saat ini beralih menjadi tempat mistis yang penuh dengan narasi misteri.

Sampai saat ini belum diketemukan sisa pondokan Lali Djiwa itu, apa telah hancur atau masih tersembunyi dalam lebatnya rimba serta terlewatkan dari ramainya peradaban dan daya ingat beberapa orang, seperti namanya, 'Lali Jiwo'.

0 komentar:

Posting Komentar