WHAT'S NEW?
Loading...

Jangan Kaget! Ini Cerita Misteri di Balik Kokohnya Stasiun Tugu Yogyakarta



Misteri di Balik Kokohnya Stasiun Tugu Yogyakarta - Melepas rasa kangen dari Yogyakarta di rasa jadi hal yang susah untuk dikerjakan oleh beberapa orang yang pernah bertandang. Kulinernya yang nikmat, adat serta budaya yang masih terbangun dengan rapi sampai wisatanya yang komplet, dari mulai gunung sampai pantai membuat Yogyakarta patut untuk dirindukan.

Tempatnya yang masih ada di Pulau Jawa sangat mungkin pelancong untuk hadir bertandang memakai bermacam moda transportasi sesuai dengan bujet mereka semasing. Diantaranya dengan memakai kereta api.

Di Yogyakarta, ada banyak stasiun yang dapat kamu untuk jadikan titik akhir perjalanan. Seperti Brambanan, Lempuyangan, Yogyakarta, Wates, serta Sentolo. Antara ke lima stasiun itu, Stasiun Yogyakarta atau yang biasa diketahui sebagai Stasiun Tugu salah satu landmark ikonik yang mempunyai kisahnya sendiri.

Dibuat pada tahun 1885, Stasiun Tugu dengan sah bekerja pada 2 Mei 1887. Seputar 15 tahun sesudah Stasiun Lempuyangan bekerja dengan sah. Mencuplik buku Cerita Tanah Jawa, stasiun ini adalah stasiun yang dibangun dengan dua pemilikan.

Jalan bagian selatannya dipunyai oleh Nederlandsch-Indische Spoorweg Maatschappij (N.I.S.M) dengan lebar 1.435 mm. Sesaat bagian utaranya dipunyai oleh Staatsspoorwegen (SS) dengan lebar rel 1.067 mm. Terdapatnya dua pemilikan ini berlangsung sebab NISM serta SS sama-sama share tanah untuk jalan kereta api jurusan Yogyakarta-Solo.

Stasiun Tugu Yogyakarta

Misteri di Balik Stasiun Tugu . Untuk cari tahunya pemberi tanda jalan peron utara dengan selatannya juga terhitung cukup gampang. Sebab jalan peron selatan ada dibagian selatan bangunan serta begitupun sebaliknya. Dikumpulkan dari beberapa sumber, Stasiun Yogyakarta dibangun dengan style arsitektur kekinian awal.

Style arsitektur ini ialah Indische Empire yang banyak diyakini di akhir era ke-19 serta jadi style arsitektur kolonial kekinian pada awal era ke-20 di Hindia Belanda. Style Indische Empire menggabungkan Neo-Rennaissance dan arsitektur kekinian dengan ornament bergaya art deco, komplet dengan rekonsilasi di Indonesia.

Stasiun Tugu Yogyakarta

Contohnya saja dengan membuat lubang-lubang dinding roster yang bermanfaat jadi cross ventilation jadi pemberi ciri-ciri bangunan, membuat tepian atap yang besar atau atap yang menjulang, supaya sesuai iklim tropis Indonesia. Selain itu bangunananya didominasi warna putih serta didukung empat pilar menjulang.

Di atas dua pilar intinya ada tiang bendera yang simetris dengan pucuk atap emplasemen. Sampai sekarang, style arsitektur yang diyakini Stasiun Tugu Yogyakarta belum juga beralih. Bangunan seluas 74.128 mtr. persegi itu dibuat di atas tempat seluas 96.112 mtr. persegi serta mempunyai enam jalan rel.

Sesuai dengan info dalam situs Genpi (Generasi Pesona Indonesia), Stasiun Tugu Yogyakarta ialah stasiun kereta api kelas besar type A yang mempunyai layout Stasiun Pulau, yakni stasiun yang relnya ada di samping kiri serta kanan bangunan. Keindahan detil yang ditampakkan dalam bangunannya serta membuat stasiun ini dipandang seperti stasiun paling cantik pada eranya di Hindia-Belanda.

Dibalik megahnya stasiun kereta api paling besar di Yogyakarta ini, rupanya Stasiun Tugu mempunyai cerita tertentu dalam pembangunannya. Menurut buku Cerita Tanah Jawa, sebelum Stasiun Tugu dibuat, lokasi itu dahulunya banyak ditumbuhi pohon beringin.

Dekat pintu masuknya saja ada satu pohon beringin memiliki ukuran besar yang benar-benar susah untuk ditumbangkan. Masyarakat seputar menyebutya jadi pohon beringin Nyai Giri Kencono. Nyai Giri Kencono ialah sesosok makhluk berkepala manusia serta bertubuh macan yang dipercaya jadi penguasa gaib di lokasi itu.
Stasiun Tugu Yogyakarta

Pada awal pembangunan, seekor kerbau jadikan jadi tumbal buat Nyai Giri Kencono. Kepala kerbau itu ditanam pada suatu upacara simbolik. Ini belum terhitung dengan korban manusia yang konon jadikan tumbal untuk memudahkan proses pembangunan.

Misteri di Balik Stasiun Tugu Masih menurut buku Cerita Tanah Jawa, tumbal manusia untuk pembangunan Stasiun Tugu diambil langsung oleh penunggu lokasi itu.

"Saat itu, tiga orang pekerja (buruh bangunan) yang 'dipilih' jadi tumbal tiba-tiba alami sakit kronis serta kecelakaan kerja sampai wafat," tulisnya dalam halaman dua.
Tiga orang pekerja itu selanjutnya dengan setahap wafat dalam beberapa langkah serta fakta dengan urutan seperti berikut:

1. 18 Februari 1886

Seorang buruh bangunan tiba-tiba jatuh saat menempatkan tembok, kepalanya selanjutnya mengenai bahan material yang berada di bawah serta dia juga meninggal saat itu juga. Salah seorang mandor yang mempunyai 'kemampuan' juga langsung mendapatkan pekerjaan lakukan acara. Kepala sang pekerja selanjutnya ditanam dibawah tegel pintu (pintu dalam atau bangunan yang lama.

2. 23 Maret 1886

Seorang pekerja yang tengah kerja lembur tiba-tiba kesurupan. Dia lari serta meloncat seperti kerasukan siluman kera. Walaupun sudah dikejar pekerja lain yang coba menolong, mereka kalah cepat. Pekerja yang kerasukan itu selanjutnya lari sampai datang dalam suatu tempat serta memotong kepalanya sendiri.
Saat itu juga, kepalanya yang terputus masuk ke lubang galian yang bisa menjadi fondasi di salah satunya pojok bangunan.

3. 7 April 1886

Masinis tengah coba mengangkat material bagunan memakai lokomotif, tetapi lokomotif berjalan mundur. Sialnya, pada saat yang bertepatan, ada seorag buruh yang tengah melakukan perbaikan rel kereta. Insiden ini membuat kepalanya terpenggal roda lokomotif.
Stasiun Tugu Yogyakarta
Becak barusan meninggakan Stasiun Yogyakarta sesudah mengantar penumpang Photo: Shutter Stok
Yakin atau mungkin tidak, sampai sekarang cerita itu cuma dapat dibuktikan sendiri oleh beberapa orang yang mempunyai potensi untuk menyaksikannya. Di luar dari itu, pelancong kenyataannya tidak butuh merasakan takut akan terdapatnya kisah-kisah ini, sebab pemerintah sendiri sudah mengatur Stasiun Tugu serta membuatnya tempat yang nyaman.
Baik buat pelancong yang akan liburan ke Yogyakarta, atau buat kamu yang ingin meneruskan perjalanan atau kembali pada rumah sesudah berlibur panjang di Kota Pelajar. Yang tentu, ingat untuk selalu tetap jaga sikap serta sopan santun dimana juga kamu ada serta menghormati tiap tradisi istiadat yang berlaku dalam tempat liburanmu. Iya, kan?

0 komentar:

Posting Komentar